Sabtu, 21 September 2013

PERPISAHAN TERMANIS



Sebuah Fiksi-Musikal

Cerita: Fahd Djibran

Aku dan kamu, bagai karang-pantai mencintai laut lepas. Dari jauh, aku mencintaimu dengan seluruh kekuranganku: Menatap gelombang ombak-rambutmu atau menikmati kilau cahaya-dirimu—pada senja yang menenggelamkan matahari di matamu.

Aku dan kamu, bagai karang-pantai mencintai laut lepas. Ribuan mil dari hatimu, setiap detik aku berusaha melacak cintamu pada setiap buih ombak yang menghantam diriku. Bila kukatakan padamu telah kutitipkan semua salamku pada nadi-nadi sungai yang merambat-bermuara menuju kedalaman hatimu, pernahkah ia benar-benar sampai padamu?

Hingga saatnya kita bertemu.

“Hai, aku Raka.” Kataku.

“Hai, aku Hera.” Katamu.

Senyum kita bertemu.

“Hera Dewi Purnama?” Aku tersenyum, berharap kamu senang mendengarnya.

Tapi kamu diam saja. Aku pun jadi terdiam. Barangkali kamu bertanya-tanya: Bagaimana aku mengetahui nama lengkapmu padahal kita baru kali pertama bertemu? Sunyi bergetar di leher kita berdua. Ah, bagaimana lagi, aku memang sudah tahu banyak hal tentang dirimu: Setiap hari aku mengagumimu, sejak bertahun-tahun yang lalu.

Sejak pertemuan itu, aku merasa hari-hari kita begitu akrab: Meski sebatas ombak yang setiap hari datang memberikan sentuhan—lalu pergi tanpa salam perpisahan. Ah, mungkinkah sungai telah menyampaikan semua salamku padamu, menyusun kata-cinta yang terbata-bata menjadi sebuah sajak cinta, dan kau menerimanya?

“Aku suka kamu. Maukah kau jadi kekasihku?” Kataku malam itu.

Tapi kamu diam saja. Sayangnya bukan sebagai isyarat persetujuan.

“Maaf,” katamu, “Aku sudah punya pacar. Tepatnya calon suami. Kupikir kedekatan kita hanya sebagai teman.”
Kita terdiam.  Tanpa senyuman.

Aku menatapmu, kamu menatapku. Ada getar yang menumpahkan ribuan kata yang tak terucapkan—jadi sepi yang bergaung. Ombak memeluk mata kaki kita berdua, malam tinggal bayang-bayang.

Sejak saat itu kita tak lagi bertemu. Kamu kembali ke tempatmu, aku tetap jadi karang-pantai yang cacat dihantam ombak. Desau angin terdengar bagai lagu sedih. Burung-burung hitam mengoak bagai caci-maki sepanjang hari. Pantai yang tak punya perasaan.

Aku akan pergi, akhirnya aku memutuskan; Lalu bersalin rupa menjadi manusia biasa, mengemasi barang-barang dalam koper, mengenakan kaus kaki dan sepatu. Di setiap langkah yang kutempuh, kulepaskan satu per satu kenangan tentang dirimu—meski tak seluruhnya.

Dari ribuan sejarah manusia yang sedih, barangkali aku salah satunya, tapi haruskah aku menghabiskan hidup hanya untuk menjadi karang-pantai yang bersedih?

Ombakmu melambai-lambai, seolah memanggilku untuk kembali. “Tetaplah menjadi karang-pantai,” lamat-lamat aku mendengar suara itu. Kupikir itu hanya perasaanku saja.

Tidak, kataku dalam hati. Aku telah memutuskan. Aku akan menjadi yang lain: bayang-bayang, angin, pohon, gunung, atau langit. Barangkali aku gagal menjadi kekasihmu, tetapi cinta tetap ada: untuk apa dan untuk siapa, biarlah ia menentukan nasibnya sendiri…
Aku dan kamu, bagai karang-pantai mencintai laut lepas?

Rupanya tidak lagi. :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tulis komentar anda..! Terimakasih